Eddy Kiemas, Kesuksesan Bersama Primagraphia
Dimulai dengan hanya satu mesin output film , kini Primagraphia telah menjelma menjadi salah satu jaringan cetak digital yang cukup diperhitungkan di industri cetak. Cabangnnya sudah ada di beberapa kota, seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Surabaya.
Primagraphia kini memperkerjakan sebanyak 600 karyawan. Dilengkapi dengan mesin-mesin terbaru yang canggih dan lengkap. Sebut saja misalnya, efi Vutek GS5000, Indigo 7500 juga mesin offset Heidelberg SM52 Anicolor. Layanannya pun terbilang lengkap, apa saja ada, dari prepress, press, hingga post press. Tidak berlebihan kalau Primagraphia melabelinya sebagai One Stop Digital Printing. Terakhir Primagraphia juga merambah bisnis bisnis photobook dengan salah satu gerainya di sebuah mal besar di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Siapa yang ada dibelakang Kesuksesan Primagraphia, tentu sudah banyak yang tahu. Dialah Eddy Kiemas, Sang pemilik jaringan cetak digital tersebut. Bagaimana Eddy membangun jaringan bisnisnya tersebut, berikut kisahnya.
Mempunyai usaha sendiri, sepertinya menjadi impian banyak orang. Tetapi nyatanya hanya ada sedikit orang yang akhirnya menjadi pengusaha. Jadi, apa yang sebenarnya yang yang menghalangi orang ketika mau memulai usaha? Keberanian. Sikap itulah yang menurut Eddy Kimas, CEO PrimaGraphia, perlu dimiliki ketika orang mau memulai sebuah usaha. “Kalau tidak mempunyai keberanian itu, saat ini mungkin saya masih bekerja untuk orang lain,” ujarnya.
Tahun 1997 yang lalu Eddy masihmerupakan karyawan di sebuah perusahaan Elektronik. Namun keinginnanya untuk punya usaha sendiri membuatnya mulai mencari-cari peluang yang bisa dilakukan. Akhirnya didapatlah ide untuk membuat billing system untuk warung telekomunikasi (wartel). Maklum,background pendidikan Eddy memang di bidang teknik elektro. Pada masa itu penghitungan billing telpon di wartel memang masih dilakukan secara manual. Insting bisnisnya pun melihatnya sebagai peluang yang cukup menjanjikan.
Mulailah niat ucapkan, dan tekad dibulatkan. Ia pun ke sana kemari untuk mencari dana pinjaman. Akhirnya dapatlah uang sebesar Rp 4 juta yang dipinjan dari tetangganya. Di dalam ruangan 2 x 3 m, dimulailah usaha pembuatan billing system wartel. Eddy mengerjakan usaha barunya ini selepas pulang dari pekerjaannya. Maklum ia memang tidak langsung keluar dari pekerjaannya. Bisa dibayangkan bagaimana sibuknya. Tetapi Eddy yang berprinsip ‘gunakanlah waktu yang diberikan Tuhan untuk berkarya’, itu tidak mau menyia-nyiakan waktu sisanya hanya untuk bermalas-malasan.
Tidak dinyana, produk kreasinya direspon sangat baik oleh para penyedia jasa warung telekomukisi tersebut. Bagaimana tidak, produk seperti itu memang sudah ditunggu-tunggu oleh para pemilik wartel. Dengan alat tersebut pekerjaan di wartel menjadi lebih efektif dan efisien. Billing telfon yang awalnya yang dihitung secara manual –yang tentunya sangat tinggi tingkat kesalahannya- digantikan dengan sebuah alat yang bisa langsung menampilkan berapa rupiah yang digunakan pemakai jasa wartel tersebut. Sampai akhirnya booming terjadi pada tahun 1999 – 2000. Karena begitu banyak order yang harus dilayani, Eddy memutuskan untuk mendedikasikan semua waktunya untuk bisnisnya ini dan berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan. Sejak saat inilah Eddy benar-benar menjadi orang yang mandiri.
Belum puas dengan billing system-nya, tahun 2001 Eddy mulai melirik bisnis lain. Yang jadi bidikannya saat itu adalah binis prepress output film. “Saya merasa cokok dengan bisnis itu dan peluangnnya sangat besar, marginnya juga bagus,” kenang alumni Elektro Trisakti 1991 ini. Namun Eddy baru benar-benar menjalankan bisnis di bidang grafika ini pada tahun 2002 yang ia namai PrimaGraphia. Dengan uang yang dikumpulkan dari bisnis pembuatan billing system itu ia membeli satu mesin prepress. Perkiraan Eddy pun tepat. Bisnis ini memang peluangnya cukup besar, hingga di tahun 2005 ia perlu menambah mesinnya menjadi beberapa buah.
Memulai bisnis pada bidang yang sama sekali baru pastilah banyak kendalanya. Yang saat itu dirasakan Eddy adalah pengetahuan yang sangat minim menganai bisnis ini, baik secara teknis maupun manajerialnya. “Tetapi sebenarnya know how di grafika ini tidak susah-susah amat. Asal ada niat, semangat dan kemauan yang tinggi, untuk belajar dengan autodidak pun bisa,” ujar lelaki 39 tahun yang gemar membaca ini.
Masih di tahun 2005 Eddy kembali menambah investasinya pada mesin cetaklarge format digital. Mesin cetak yang saat itu ia beli adalah printer Roland yang untuk aplikasi indoor ataupun outdoor. Naluri bisnisnya yang semakin terasah mengatakan kalau bisnis pada cetak digital ukuran lebar ini bakal booming. Benar saja, sejak saat itu bisnis digital printing semakin naik daun, dan bisnis Eddy pun semakin berkibar. Untuk memperbesar kapasitas produksi Eddy harus selalu menambah jumlah mesinnya. Eddy juga perlu ekspansi bisnisnya ke daerah Bekasi Jawa Barat. Kini sudah ada kurang lebih 10 cabang di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Surabaya.
Untuk Perbesar Pasar Harus Jemput Bola
Persaingan yang semakin ketat dengan banyaknya pemain baru yang masuk menjadikan pasare semakin terbagi. Kue antar pemain menjadi semakin kecil, sementara menurut Eddy pasarnya tidak tumbuh sekencang persaingannya. Padahal sebenarnya pontesinya masih sangat besar. Keadaan inilah yang menuntut para pemain untuk melakukan strategi-strategi agar bisa tetap bisa survive. Membuat inovasi-inovasi baru adalah hal yang terus dilakukan PrimaGraphia. Pertama adalah inovasi dalam pelayanan. Pelayanan terhadap pelanggan harus lebih ramah dan sopan. Order harus dikerjakan dengan cepat dan tepat waktu. “Dan yang lebih penting lagi kita bisa memberikan harga yang sama dengan yang lain tetapi dengan kualitas yang lebih baik,” tambah Eddy. Inovasi yang terakhir inilah yang menjadi andalan PrimaGraphia. “Digital printing itu sebenarnya murah, mengapa harus mahal,” kata Eddy lagi.
Inovasi yang lain adalah dengan selalu melengkap jajaran produknya. “Untuk itu kalau ada teknologi baru kita harus yang pertama,” kata Eddy lagi. Maka jangan heran kalau jumlah mesin yang dimiliki PrimaGraphia selalu bertambah. Baru-baru ini saja ia baru membeli mesin digital press Indigo seri terbaru 7500 untuk melengkapi jajaran mesinnya. Sebentar lagi bahkan akan mendatangkan lagi Indigo tercanggih Indigo 1000. Menurutnya, mesin tersebut adalah untuk menjawab kebutuhan short run pelanggannya yang makin lama makin tinggi.
Sumber daya manusia (SDM) sebagai bagian terpenting dalam entitas suatu bisnis juga tidak luput dari perhatian Eddy. Sejak tahun 2009 ini ia sudah membuat divisi HRD yang salah satu tugasnya adalah memberikan pelatihan-pelatihan kepada karyawannya. Semua karyawan yang ada di cabang yang baru tersebut adalah ‘alumni’ dari progran pelatihan tersebut.
Selain persaingan, persoalan lain yang dihadapi pada industri grafika ini adalah lambatnya pertumbuhan pasar. Untuk memperluas pasar tersebut menurut Eddy, para pemain di industri grafika ini tidak bisa diam, menunggu pelanggan datang dengan sendirinya. Tetapi harus aktif menjemppupt bola. Makanya Eddy pun melakukan berbagai promosi melalui berbagai media, selain pemberian hadiah juga melalui brosur dan papan nama juga lainnya.
Sumber : Digital Printing Indonesia
0 comments:
Post a Comment